17 -an (semangat atau ego)


Itulah hari kemerdekaan kita
hari merdeka nusa dan bangsa
hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka...sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
...
...
...

Sepenggal bait dari lagu kebangsaan negeri tercinta yang sering kita dengarkan. Dulu saat kita masih duduk di bangku SD atau SMP atau SMA, semangat itu begitu membakar darah muda yg bergejolak dengan mengikuti upacara 17-an disertai acara perlombaan yang beragam.
Ya, semangat itu masih tersisa walau tak sebergejolak dulu. Dulu salah satu kebangaan dan keinginan yang selalu ingin diwujudkan adalah upacara 17-an di atap-atap tertinggi tanah Indonesia. Hmmm...betapa mengasyikan sekaligus membanggakan bila hal itu terwujud.
Ya, untuk hal yang satu itu kadang berbagai cara dilakukan demi 17-an dipuncak gunung :D, tak peduli ratusan bahkan ribuan pasang kaki memenuhi seisi rimba raya. Masih bisa bersabar ikut mengantri dalam pendakian.
Sorak-sorai dan gemuruh derap langkah kaki membuat semangat berada pada titik yang tertinggi hingga terkadang lepas kendali. Sepanjang jalan pendakian terlihat beragam corak dan warna tenda berdiri kokoh, tak peduli menghalangi jalan ataupun ber-rela-rela menebas pohon-pohon disekelilingnya untuk area camp.
Jenggala yang biasanya sunyi-senyap kini tak ubahnya pasar malam ataupun diskotik dadakan. Kita puaskan segala kegembiraan yang ada saat itu, tak peduli alam dan segala isinya terganggu ataupun tidak. Masa bodoh...yang penting kita bangga dan jumawa.
Kadang kita merasa sangat berat untuk menepis sebuah keinginan antara keyakinan dan ego, sulit untuk bisa belajar dari setiap langkah kaki yang kita tempuh melewati beribu belukar dan akar yang menjadi saksi perjalanan ini.
Semoga saja kebajikan alam dapat kita serap yang merupakan salah satu inti sari kehidupan ini.
Akankah sia-sia????????
Bintang...
kau ajari aku rasa kagum akan ke-Agungan-nya
Hutan...
kau ajari aku akan rasa ketenangan yg hakiki
Bumi...
kau ajarkan aku rasa berserah diri pada-Nya
kau begitu kuat menahan beban dunia dipundakmu, rela dirimu dibanjiri
bau amis darah manusia, kau tegar saat dirimu dibumi hanguskan oleh
keserakahan manusia.
Karang...
kau ajari aku makna sebuah kesombongan
Sungai...
hikmahmu membuatku mengerti apa yang kau tanamkan pd alam ini
Tapi...
aku mohon maafmu, wahai sang alam, karena apa yg kau ajarkan tak
membuat diri ini lebih baik dari hari ke hari. Sepertinya diri ini
tak jua berubah. Masih saja terlempar baju kesombongan, masih banyak
kata yang menusuk hati mereka, masih sering... dan sering lagi
terjadi.
Oh, alam...
akan kah sia-sia dari setiap perjalananku ini???
janganlah berlalu apa yg telah kau ajarkan padaku